Biduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur.
Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
Ratna llaannjjuutt...
Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.
Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.
Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.
“benar… anda siapa ?”
“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”
“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.
“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”
Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.
“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna
“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”
“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”
“alhamdulillah sehat mbak”
“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”
“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”
“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”
Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.
Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.
***
Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.
“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni
“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”
“masakan jadi mbak ?”
“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.
Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.
***
Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.
Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.
“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”
“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.
“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus
“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”
Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.
Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.
Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,
Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.
Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.
Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,
Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.
Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.
Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,
Syahroni
***
Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.
***
Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.
“teko sopo buk’ne ?”
“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”
“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.
Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu
Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.
Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?
Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.
Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?
Surat ini melepas kerinduanku padamu,
Ratna llaannjjuutt...