Sastra Dalam Surat

di sini , diantara kemeriahan dan bintang . . . aku memilih sunyi

Biduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur.

Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.

Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.

Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.

“benar… anda siapa ?”

“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”

“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.

“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”

Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.

“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna

“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”

“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”

“alhamdulillah sehat mbak”

“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”

“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”

“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”

Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.

Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.



***



Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.

“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni

“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”

“masakan jadi mbak ?”

“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.

Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.



***



Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.

Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.

“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”

“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.

“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus

“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”



Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.

Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.



Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,



Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.

Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.



Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,



Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.

Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.



Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,





Syahroni





***



Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.



***



Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.

“teko sopo buk’ne ?”

“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”

“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.





Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu



Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.

Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?

Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.

Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?



Surat ini melepas kerinduanku padamu,



RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.

Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.

Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.

“benar… anda siapa ?”

“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”

“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.

“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”

Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.

“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna

“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”

“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”

“alhamdulillah sehat mbak”

“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”

“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”

“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”

Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.

Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.



***



Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.

“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni

“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”

“masakan jadi mbak ?”

“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.

Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.



***



Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.

Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.

“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”

“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.

“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus

“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”



Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.

Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.



Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,



Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.

Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.



Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,



Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.

Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.



Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,





Syahroni





***



Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.



***



Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.

“teko sopo buk’ne ?”

“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”

“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.





Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu



Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.

Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?

Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.

Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?



Surat ini melepas kerinduanku padamu,



RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.

Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.

Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.

“benar… anda siapa ?”

“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”

“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.

“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”

Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.

“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna

“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”

“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”

“alhamdulillah sehat mbak”

“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”

“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”

“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”

Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.

Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.



***



Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.

“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni

“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”

“masakan jadi mbak ?”

“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.

Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.



***



Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.

Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.

“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”

“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.

“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus

“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”



Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.

Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.



Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,



Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.

Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.



Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,



Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.

Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.



Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,





Syahroni





***



Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.



***



Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.

“teko sopo buk’ne ?”

“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”

“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.





Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu



Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.

Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?

Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.

Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?



Surat ini melepas kerinduanku padamu,



RatnaBiduk rumah tangga Karmidji dan Ratna semakin harmoni setelah lahirnya anak pertama mereka yang telah diketahui oleh banyak tetangga ternyata laki-laki, dari pasangan yang telah menikah tujuh tahun silam. Mereka sangat menikmati setiap detik, menit, jam, dan hari dengan penuh syukur. Tak apalah menunggu lama, asalkan ada keturunan yang di bina untuk dapat menggantikan Karmidji di kantor kelurahan desanya. Banyak warga berbondong-bondong bertamu kerumahnya sekedar memberi kado sederhana untuk putra tercintanya, mereka yang membawa ‘kado’ duduk diatas kursi dengan disuguhi beberapa aneka macam makanan dan minuman, sedangkan mereka yang hanya memberi ‘ucapan selamat’ diperbolehkan duduk di lantai dan di suguhi minuman air saja.

Cukup luas rumah itu. Cukuplah jika hanya menampung warga se-RT. pesta kecil-kecilan yang diadakan Karmidji dari beberapa usulan teman kantor di kelurahan. Pesta berlalu, tak meninggalkan kesan berbekas diantara para tamu, hanya Karmidji yang menikmatinya. Ratna yang sedari tadi duduk menggendong putra tercintanya yang diberi nama Guntur, tampak kelelahan setelah melayani banyak tamu yang datang sore itu. Guntur kecil sudah bisa mendengar, tetapi belum bisa menyimak. Ia hanya membuka mulut dan tertawa. Bapaknya tersenyum dan berbisik. “jadilah putra yang membanggakan bangsa, cepatlah dewasa agar bisa menggantikan bapak di kelurahan”.

Bulan pun datang, mungkin ia sedang mengandung dan bahkan akan melahirkan matahari, sebab ia tampak lebih besar dan berisi. Ia datang mengendap-endap di atas awan pekat, seperti hendak merencanakan pikiran jahat. Seorang Pria berkumis tipis membawa bungkusan plastik datang kerumah Karmidji, mungkin ia tamu yang telat, atau mungkin tamu yang gak kompak, datang sendiri pulang sendiri. Seperti nyayian pemanggil arwah yang sampai saat ini masih diyakini membawa berkah bagi mereka yang memanggil. Karmidji pun terganggu oleh suara bel tamu, iapun bergegas membukakan pintu. “selamat malam Pak, apa benar ini rumah Ibu Ratna?”, kata pria berkumis itu sambil mencocokkan alamat yang ia tulis dikertas bungkusan rokoknya.

“benar… anda siapa ?”

“saya Syahroni pak, ponakan dari ibu Ratna”

“oOo, silahkan… silahkan masuk mas”, kata Karmidji mempersilahkan masuk setelah melihat tamu itu membawa bungkusan plastic yang ia yakini itu kado untuk anaknya.

“bu… ada tamu. Ponakan mu datang”

Ratna yang tertidur sambil menyusui anaknya itupun kaget mendengar ada tamu lagi, walaupun hanya mengobrol basa-basi mungkin ia agak bersemangat karena salah satu ponakannya datang.

“ehk, dek Roni… sendiri kesini ?”, Tanya bu Ratna

“iaa mbak, lagian mau ngajak siapa lagi. Ibu Cuma titip salam buat mbak dan suaminya”

“wa’alaikum salam. Gimana kabar ibumu?”

“alhamdulillah sehat mbak”

“oh, ya… minggu kemarin ibumu telepon, katanya kamu disuruh tinggal disini dulu, bantuin mbak Ron. Maklum sekarang mbak kan sudah punya momongan jadi gak sempet buat ngurusin rumah”

“iaa mbak, ini aku juga bawa pakaian kok.”

“mMm… pantesan mbak gak liat kamu bawa tas, kamu taruh di plastic to.”

Mendengar bahwa bungkusan yang dibawa syahroni itu hanyalah pakaian ganti selama tinggal disini, Karmidji agak sedikit kecewa. Ternyata dugaannya salah. Plastic yang ia banggakan sejak tadi hanyalah sebuah pakaian dalam atau mungkin celana dalam selama menginap disini.

Malam pun semakin larut, seiring berjalannya waktu. Seisi rumah kembali sepi, lampu pun mati. Menandakan seisi rumah telah di selimuti mimpi. Syahroni yang baru pertama kali tidur dirumah itupun tak bisa tidur, terpaksa malam itupun ia menganggur. Menghabiskan sisa rokok yang tinggal beberapa batang, untuk sekedar menemaninya dalam sepi. Setelah batang rokok terakhirnya habis iapun tertidur di tempat duduk teras.



***



Pagi datang menjelang, menembaki segala sudut kegelapan. Karmidji yang semalam tertidur diantara tumpukan kado yang sebagian telah dibuka nampak kelelahan. Dimeja makan telah tersedia kopi dan teh hangat yang disiapkan roni sedari tadi. Ratna sudah memandikan Guntur kecil yang masih merah, iapun menyusuinya dengan penuh kehangatan.

“hari ini mau masak apa mbak ? biar nanti saya yang kepasar, beli belanjaan.” Tanya roni

“ahk, gak usah dik Roni. aku udah pesan ke tetangga kok, nanti juga di antar”

“masakan jadi mbak ?”

“yaa iya to, masakan jadi. Masa nitip belanjaan, trus siapa yang masakin hayoo. Mbak kan lagi repot ngurus si kecil ini.” Ujarnya sambil tersenyum melihat Guntur kecil.

Karmidji baru terbangun setelah cahaya pagi berjalan diatas kepalanya, membakar semua mimpi Karmidji, entah mimpi apa itu. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 7. Waktu yang menunjukkan ia berangkat ke kantor kelurahan untuk bertugas. Seperti biasa, ia tetap santai sambil menikmati kopi dulu sambil merokok, mandi, setelah itu barulah ia berangkat ke kantor. Istrinya yang dari dulu telah memperingatkan agar bergegas dan tidak terlambatpun mulai malas untuk mengingatkannya.



***



Seperti itulah kegiatan sehari-hari di rumah yang hanya berpenghuni 4 jiwa itu. Kegiatan rutin yang tak terasa telah berjalan 2 tahunan itu. Saat dimana Guntur kecil mulai belajar berjalan dan mampu mengucapkan beberapa patah kata. Entah mengapa perilaku Syahroni kepada mbak Ratna makin hari makin dekat bahkan lebih dekat dari Karmidji sekalipun yang merupakan suami dari ponakannya itu. Mungkin karena Roni yang terlalu sering melihat payudara mbak Ratna saat menyusui Guntur kecil sehingga nafsu lelakinya menjadi meletup-letup setelah ditahan sekian lama, atau mungkin hanya sebatas hubungan saudara saja antara kakak dan adiknya. Entahlah, yang jelas perilaku Roni telah berubah, kian hari. Ratna pun merasakan perubahan pada diri Roni, ia merasa telah di perlakukan lebih oleh adik sepupunya itu. Mulai dari membuatkan susu buat Guntur, menggantikan popoknya, dan lain-lain. Suatu kegiatan yang tak pernah dilakukan oleh seorang Karmidji.

Hingga Karmidji merasakan keganjilan pada diri Roni, Ia pun mulai terganggu oleh perilaku adik Iparnya itu. Kemudian ia Membujuk istrinya itu untuk mengembalikan Roni ke desa.

“Bu… mungkin kita sekarang udah tidak membutuhkan dia lagi. Mungkin saatnya kita memakai jasa pembantu saja.”

“lho, bapak ini gimana to ? katanya kalau pakai pembantu biayanya mahal, mending pakai saudara saja di desa. Lhadalah, sekarang kok bilang pengen pakai pembantu.” Ujarnya lemah lembut.

“lho… Kasian to bu… dia an sudah dewasa, saatnya dia mulai cari kerja dan berpikir untuk berumah tangga. Jangan pengen berumah tetangga saja, atau pengen nyidak’i istri orang saja.” Balas Karmidji ketus

“yaudah, terserah bapak saja. Nanti biar ibu yang bilang ke Roni.”



Hari semakin larut, Roni yang dinantikan tak kunjung datang. Jangan-jangan Ia mendengar percakapannya tadi siang bersama Karmidji. Iapun merasa bersalah karena itu. Sampai pada ke esokan harinya pun Roni juga belum menampakkan batang hidungnya. Jelas, apa yang di khawatirkan Ratna semakin masuk akal.

Di pagi yang masih berakrab ria dengan embun, Ratna menemukan sepucuk surat di antara tumpukan pakaian Guntur kecil setelah Ia memandikan anak lakinya itu, surat yang tertanda milik Roni untuk dirinya.



Kepada Mbakku, saudariku yang sangat kusayangi,



Sengaja aku tulis surat ini tak lain untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan tentang apa yang telah saya dengar percakapan mbak dengan Mas Karmidji siang itu. Aku takut engkau salah paham dan beranggapan jelek terhadapku.

Sewaktu menulis surat ini aku teringat pada masa kecil kita yang indah. Masa ketika kita bebas bermain, berlarian kemana kita suka. Bercanda dan bercengkrama. Namun kini tak dapat lagi kita lakukan karena pagar ayu pernikahan telah melindungi mbak dari orang luar, dari saudara sekalipun bahkan.



Mbakku, saudariku yang sangat kucintai,



Betapa berat kakiku kulangkahkan ketika akan menginjakkan kaki meniggalkanmu. Di satu sisi aku menghargai pendapat suamimu, di sisi lain terasa berat untuk meninggalkan mu karena hatiku telah tertanam namamu. Mungkin engkau telah merasakan itu, namun kau tak pernah berucap sepatahpun karena perubahan sikapku. Mungkin jika aku masih berada dirumah itu, aku lebih akan menyiksa diriku, karena cinta yang tak kunjung padam. Mungkin bisa saja aku mengawinimu tanpa harus menikahimu, dan memberikan seorang putra/putri untuk Guntur kecilmu itu.

Harus kuakui aku sangat merindukan masa kecil dulu, dimana tidak ada seorangpun yang melarang kita saat bermain dan bercanda saat itu. Maaf, mungkin banyak coretan yang tak berkenan di hati mbak Ratna.



Segumpal kerinduan menyesakkan dadaku,





Syahroni





***



Setelah perpisahan selama tiga tahun, selepas kepergian Roni kembali ke desa, Nganjuk tepatnya. Kepergian yang di iringi caci maki, sumpah serapah dari Karmidji. Yang tak lain adalah kemenakannya. Kepergian yang meniggalkan masalah buat Karmidji. Namun Istrinya tak mengetahui itu, diam-diam setelah menunggu sekian lama, surat dari Roni itupun di balasnya dan dikirimkan untuk Roni di desa. Roni yang kini telah memiliki keluarga kecil sejak dua bulan yang lalu. Ia mempersunting Gadis sebelah desa.



***



Sore itu menjelang malam, Roni baru pulang dari sawah tempatnya ia bekerja. Sawah milik keluarga yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh garis keturunan matrilineal, namun karena Ibunya masih ada, sawahpun belum diwariskan untuk siapapun. Ia mendapati Istrinya yang sedang menyisir rambut dan memberikan surat untuknya.

“teko sopo buk’ne ?”

“lha kui, soko Ratna. Sopo to mas ?”

“oh… iku sedulurku, ponakan adoh soko emak, yawes, siapno panganane… luweh iki buk’.” Ujarnya sambil membuka isi surat itu.





Malam ini, 3 Oktober 2010, tepat tiga tahun selepas kepergianmu



Untuk kali kesekian aku membaca kembali surat yang kau kirim padaku adikku. Sesekali senyum mengembang di bibirku setelah membaca isi suratmu. Kadang mataku terpejam, menerawang lorong waktu, kembali pada gambaran masa lalu, masa anak-anak. Seolah seperti sebuah film yang kembali di putar oleh memoriku. Ada kebahagian dan tawa di situ.

Malam ini aku sangat merindukan sosokmu. tahukah kau apa yang terjadi selepas kepergianmu ? aku sangat merindukan malam, malam yang menerawang, menembus hati saat kumenatap bahasa matamu. Aku mulai belajar keberanian, apalagi setelah menerima suratmu kala itu. Tahukah kau, apa keputusanku itu ?

Keputusanku adalah aku tidak membutuhkan lelaki yang menikahiku. Namun aku hanya membutuhkan lelaki yang mengawiniku. Terlalu ekstem memang, namun kadangkala sesuatu yang ekstrem itu di butuhkan dalam hidup untuk memberikan penegasan akan keberadaan kita sebagai makhluk yang memiliki kehendak.

Kuakui saat kutuliskan surat ini, malam ini. Aku sangat merindukanmu. apakah kau merindukanku, seperti surat yang kau tulis untukku kala itu, saudaraku ?



Surat ini melepas kerinduanku padamu,



Ratna llaannjjuutt...

Penyampaian sastra dibagi dalam dua bagian besar yaitu :

Bahasa lisan

Bahasa lisan dalam sastra merupakan sastra yang mengembangkan ritualitas dalam komunitas itu tersendiri. Untuk itu dalam filosofinya bahwa karya sastra yang dibangun dalam tradisi lisan komunitas mengambarkan suatu kekhususan dalam berkarya sastra. Adapun dalam kategori bahasa adalah untuk memberikan sistematika bahasa dalam kontekstualnya adalah morfologi, fonologi, semantik dan sintaksis semakin berkembang dan manjunya dunia dalam ilmu dan teknologi maka semakin maju pula peradaban yang di bentuk dalam berkarya. Baik itu karya sastra lisan dan tulisan maupun dalam berbahasa.

Jadi hipotesanya bahwa ada kesinambungan antara bahasa dan sastra dalam berkarya.

Tulisan

Tulisan adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis biasa dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Pada awal sejarahnya, menulis dilakukan dengan menggunakan gambar, contohnya tulisan hieroglif (hieroglyph) pada zaman Mesir Kuno. Tulisan dengan aksara muncul sekitar 5000 tahun lalu. Orang-orang Sumeria (Irak) menciptakan tanda-tanda pada tanah liat. Tanda-tanda tersebut mewakili bunyi, berbeda dengan huruf-huruf hieroglif yang mewakili kata-kata atau benda. Kegiatan menulis berkembang pesat sejak diciptakannya teknik percetakan, yang menyebabkan orang makin giat menulis karena karya mereka mudah diterbitkan.
llaannjjuutt...

Usia sastra sudah cukup tua. Cikal bakalnya muncuk ketika filosof Yunani, Aristoteles, menulis karyanya berjudul Poetika lebih dari 2000 tahun lalu. Di dalam buku itu Aristoteles mengemukakan teori sastra mengenai drama tragedi yang dalam sastra Yunani Klasik ditulis dalam bentuk puisi. Dalam sastra barat modern Hudson menyebutnya dengan istilah to study of literature, dan Rene Wellek memakai istilah theory of literature.

Ilmu sastra terbagi atas empat cabang yaitu :

Teori sastra : cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip-prinsip dasar sastra seperti sifat sastra, struktur dan jenis sastra, sistem sastra dll.

Sejarah sastra : cabang ilmu sastra yang menyelidiki sastra sejak terjadi timbulnya sampai perkembangannya yang terakhir.

Kritik sastra : ilmu sastra yang mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan penilaian atas baik dan buruknya, kekuatan dan kelemahan karya sastra. Dekat dengan kritik sastra adalah studi sastra, cabang ilnu sastra yang mempelajari dan menelaah karya sastra.

Filologi : cabang ilnu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, alam pikiran, dan sebagainya dari suatu masyarakat atau bangsa yang memiliki karya.
llaannjjuutt...

Sebenarnya dikatakan tadi, "pragmatik" itu merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas
tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara punutur dan
pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal "ekstralingual" yang
dibicarakan


Di sini hanya satu dua contoh saja memadai. Perhatikanlah kalimat Inggris John went
home and had a snack. Di sini ada dua klausa: John went home, dan John had a snack. Kedua
klausa tersebut digabungkan menjadi satu kalimat. Catatlah bahwa "Subjek" John dalam
klausa kedua dihilangkan. Dalam analisis linguistik pelesapan Subjek itu sering dilambangkan
dengan simbol - (angka nol tembus garis miring), sehingga kalimat tadi dapat diberi bentuk
John went home and-had a snack. Subjek kedua menjadi "nol" karena tidak dibutuhkan oleh
pendengar untuk mengerti apa yang dituturkan. Dengan perkataan lain, Subjek kedua
dilesapkan demi kemudahan komunikasi. Demikian pula dalam kalimat Indonesia Suryanto
pulang dan - mengambil makanan kecil.
Daripada melesapkan Subjek kedua kita dapat juga memakai he atau dia dalam kalimat-
kalimat tadi : [8] and he had a snack, dan [9] dan dia mengambil makanan kecil. (Titik-titik
yang diapit antara kurung persegi sering dipakai untuk menghilangkan sebagian dari suatu
teks.) He dan dia mengacu pada John, dan hal itu dimengerti oleh pendengar karena John
telah desebut terlebih dahulu, yaitu John.
kebutuhan komunikasi dan pengacuan termasuk juga dalam struktru bahasa, dan struktur
tersebut dapat agak berbeda-beda dalam bahasa-bahasa yang berlainan.
llaannjjuutt...

Tuturan bahasa terdiri atas bunyi. Bukan sembarang bunyi saja, melainkan bunyi tertentu,
yang agak berbeda-beda menurut bahasa tertentu. Bunyi tersebut diselidiki oleh fonetik dan
fonologi. Fonetik meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalannya, dan menurut sifat-sifat
akustiknya. Berbeda dengan fonetik, ilmu fonologi meneliti bunyi bahasa tertentu menurut
fungsinya


Misalnya saja, bunyi [p]-lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya diapit antara kurung
persegi - dalam bahasa Inggris dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya
sehingga udara keluar dengan "meletup". Deskripsi seperti itu adalah deskripsi fonetis.
Deskripsi yang demikian dapat disempurnakan lebih terinci. Misalnya, dalam kata (Inggris)
pot, [ph]-nya "beraspirasi", artinya disusul bunyi seperti bunyi [h] (oleh karena [ph] dalam pot
adalah satu-satunya bunyi "letupan" pada awal kata); akan tetapi dalam kata spot, [p]-nya
tidak "beraspirasi" demikian "(karena tidak merupakan satu-satunya "konsonan" pada awal
kata). Perbedaan tersebut adalah perbedaan fonetis semata-mata, tidak fonologis.
Dua bunyi yang secara fonetis berbeda dikatakan mempunyai perbedaan fonologis bila
perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan makan antara dua kata. Misalnya saja, dalam
bahsa Indonesia [1] dan [r] berbeda secara fungsional, atau secara fonologis, karena
membedakan kata seperti dalam pasangan rupa : lupa. Maka untuk bahasa Indonesia /1/ dan
/r/ merupakan "fonem" yang berbeda (lazimnya, lambang fonem diapit antara garis miring).
Sebaliknya, dalam bahasa Jepang, [l]dan [r] tidak pernah membeda kata-kata yang berbeda;
atau, dengan perkataan lain, tidak berbeda secara fonologis, tidak merupakan fonem yang
berbeda.
llaannjjuutt...

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani Sema (Nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan oleh para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American Philological Association ‘organisasi filologi amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meanings: A point in Semantics. Istilah semantik sendiri sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca di dalam artikel “An Account of the Word Semantics (Word, No.4 th 1948: 78-9). Breal melalui artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Language” mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalm keilmuan, di dalam bahasa Prancis istilah sebagai ilmu murni historis (historical semantics).



Historical semantics ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-unsur luar bahasa, misalnya perubahan makna dengan logika, psikologi, dst. Karya Breal ini berjudul Essai de Semanticskue. (akhir abad ke-19).

Reisig (1825) sebagai salah seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang grammar (tata bahasa) yang meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi, studi asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna; sintaksis, tata kalimat dalam semasiologi, ilmu tanda (makna). Semasiologi sebagai ilmu baru pada 1820-1925 itu belum disadari sebagai semantik. Istilah Semasiologi sendiri adalah istilah yang dikemukakan Reisig. Berdasarkan pemikiran Resigh tersebut maka perkembangan semantik dapat dibagi dalam tiga masa pertumbuhan, yakni:
1. Masa pertama, meliputi setengah abad termasuk di dalamnya kegiatan reisig; maka ini disebut Ullman sebagai ‘Undergound’ period.
2. Masa Kedua, yakni semantik sebagai ilmu murni historis, adanya pandangan historical semantics, dengan munculnya karya klasik Breal(1883)
3. Masa perkembangan ketiga, studi makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia Gustaf Stern (1931) yang berjudul “Meaning and Change of Meaning With Special Reference to the English Language Stern melakukan kajian makna secara empiris

Semantik dinyatakan dengan tegas sebagai ilmu makna, baru pada tahun 1990-an dengan munculnya Essai de semantikue dari Breal, yang kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern. Tetapi, sebelum kelahiran karya stern, di Jenewa telah diterbitkan bahan, kumpulan kuliah dari seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan perkembangan linguistik berikutnya, yakni Ferdinand de Saussure, yang berjudul Cours de Linguistikue General. Pandangan Saussure itu menjadi pandangan aliran strukturalisme. Menurut pandangan strukturalisme de Saussure, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan (the whole unified). Pandangan ini kemudian dijadikan titik tolak penelitian, yang sangat kuat mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa.

Pandangan semantik kemudian berbeda dengan pandangan sebelumnya, setelah karya de Saussure ini muncul. Perbedaan pandangan tersebut antara lain:
1. Pandangan historis mulai ditinggalkan
2. Perhatian mulai ditinggalkan pada struktur di dalam kosa kata,
3. Semantik mulai dipengaruhi stilistika
4. Studi semantik terarah pada bahasa tertentu (tidak bersifat umum lagi)
5. Hubungan antara bahasa dan pikira mulai dipelajari, karena bahasa merupakan kekuatan yang menetukan dan mengarahkan pikiran (perhatian perkembangan dari ide ini terhadap SapirWhorf, 1956-Bahasa cermin bangsa).
6. Semantik telah melepaskan diri dari filsafat, tetapi tidak berarti filsafat tidak membantu perkembangan semantik (perhatikan pula akan adanya semantik filosofis yang merupakan cabang logika simbolis.

Pada tahun 1923 muncul buku The Meaning of Meaning karya Ogden & Richards yang menekankan hubungan tiga unsur dasar, yakni ‘thought of reference’ (pikiran) sebagai unsur yang menghadirkan makna tertentu yang memiliki hubungan signifikan dengan referent(acuan). Pikiran memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik biasa menetukan fakta bahwa asal kata meaning(nomina) dari to mean (verba), di dalamnya banyak mengandung ‘meaning’ yang berbeda-beda. Leech (1974) menyatakan bahwa ahli-ahli semantik sering tidak wajar memikirkan’the meaning of meaning’ yang diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung menerangkan semantik dalam hubungannya dengan ilmu lain; para ahli sendiri masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.

Istilah semantik pun bermacam-macam, atara lain, signifik, semisiologi, semologi, semiotik, sememmik, dan semik. Palmer (1976), Lyons (1977), dan Leech (1974) menggunakan sitilah semantcs. Lehrer (1974) mengemukakan bahwa semantik merupakan bidang yang sangat luas, karena ke dalamnya melibatkan unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa, yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat dan antropologi, serta sosiologi. Antropologi berkepentingan di bidang semantik antara lain, karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Ilsafat berhubungan erat dengan semantik karena persoalan makna tertentu yan dapat dijelaskan secara filosofis (mis, makna ungkapan dan peribahasa). Psikologi berhubungan erat dengan semantik karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal dan nonverbal. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu dapat memandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu
llaannjjuutt...

Cahaya rembulan menembus pohon-pohon randu di sekitar ladang. Suara jangkrik bersahutan merayakan kegembiraan malam yang terang...

"Dita, would you marry me...?" bisik Paijo di telinga Dita. 

"Jo, kamu serius......?, atau kamu hanya kumbang yang hanya manis kala mengharapkan bunga", sergah Dita penuh tanda tanya.

" Aku serius Dita, aku akan segera melamarmu kalau engkau setuju untuk menjadi istriku..."

dan segera malam berlalu....................................

Dita kena grounded 1 bulan, rahasianya ketahuan sudah, dia pacaran dengan Paijo, anak pedagang kelontong tetangga RT-nya. Sehari2 hanya nangis saja....., bukan karena rindu Paijo tapi karena bosen di rumah.

"Assalamu alaykum......", bel berbunyi tepat pagi ke-27 Dita dikurung.

buru2 Dita lari mau membuka pintu, kesempatan untuk melihat orang luar selain dari ibu bapaknya, pikirnya.

"Masuk .....Dita...", teriak ayahnya. 

Dita mendelik karena takut, dia kembali ke belakang....tapi diam2 mencuri dengar siapa tamu yang datang. Paijo dan orang tuanya datang untuk melamar Dita......

"Anak saya tidak akan saya serahkan kepada orang yang tidak bisa membahagiakannya, pergi.....!!!!!!" suara bapak Dita terdengar lantang. 

Dita tahu pasti lamaran itu pasti ditolak, alasannya pasti karena Paijo tidak kaya lah, Paijo kurang berpendidikan lah, Paijo belum punya rumah sendiri, dan beribu alasan lain.

Malamnya Paijo mengurung diri di kamarnya, gelap....gelap....hanya gelap yang dirasakannya.

Menjelang subuh, Paijo sudah berkemas2, tekadnya sudah bulat, dia akan lari dari kampungnya, malu...malu sekali. Dia malu jadi orang miskin, malu jadi orang tak berpendidikan, malu hidup di kampungnya sendiri, kampung yang dulu sangat dicintainya.

"Saudara2, demi generasi mendatang yang lebih baik, korupsi, kolusi, dan koncoisme, harus dieliminasi dari negara kita tercinta ini" teriak seorang gadis cantik mengakhiri orasinya, mahasiswa-mahasiswa lain tampak puas atas orasinya.

Turun panggung, tangan gadis itu ditarik sama pemuda berambut gimbal dan diajak ke pinggir lapangan.

"Dita, ada yang mencarimu, katanya pacar kamu...!!!, cerocos si gimbal.

"Busyet dah, pacar gue.....gue gampar loe macem2...!!!" Dita merasa terusik atas ulah si gimbal.

"Yah, loe dibilangin gak percaya, tuh anaknya nungguin loe di pintu gerbang kampus."si gimbal jengkel sambil ngeloyor pergi.

Dita yang kepanasan habis orasi tambah jengkel saja, sudah jengkel sama pejabat2 Indonesia yang kerjanya cuma merusak bangsa, ditambah lagi ada yang ngaku2 jadi pacarnya dia, tanpa sepengetahuannya lagi, ketemu aja belum pernah pikirnya.

Sambil bersungut2 dia bergegas ke pintu gerbang kampus, kampus yang telah membuat dia lebih memahami derita rakyat dan derita kaum lemah, suatu hal yang tidak pernah dirasakannya dalam keluarganya yang berada.

"Heh, loe......., sapa loe ngaku2 jadi pacar gue, blon pernah nyungsep ke got loe...", Dita langsung nyerocos begitu ketemu cowok yang dimaksud si gimbal.

"Tenang Dita...", jawab cowok itu tenang.

"Tenang, tenang.......tenang nenek moyang loe..., kalo ngajak berantem jangan beraninya sama kaum hawa doang."Dita nyerocos lagi nggak berhenti.

"Dita yang manis..."cowok itu mulai bicara pelan dan halus, membuat Dita agak sungkan, apalagi dia dibilang manis, dia mulai mendengarkan.

"Hurry up, I am listening..." gertak Dita

"Kamu memang nggak berubah dari dulu, tapi kamu nggak akan pernah bisa galak denganku.."ucap cowok itu dengan penuh percaya diri.

Dita tambah penasaran, belagu amat cowok ini pikirnya.

"Heh, loe gak usah bertele2, apa maksud kedatanganmu..., cepet bilang sebelum aku kehilangan kesabaran..."

"Kamu inget temen mainmu waktu kecil yang punya garis kecil di atas bibir atasnya, yang sering nyuri mangga tetangga bersamamu...?."cowok itu mencoba meredakan kemarahan Dita dengan pertanyaan.

Dita berpikir keras, mencoba mengingat kembali masa lalu pahitnya yang berusaha dia kubur dalam2. Masa lalu dalam kediktatoran keluarga, suatu hal yang amat dia benci dan dia tentang habis2an saat ini bersama teman2 mahasiswa seluruh negeri.

"Kamu......, Kamu...., Paijo...!!!!!." Dita terbata2

Cowok itu mengangguk. Dita lemas lunglai, serasa terasa lagi seluruh syarafnya karena kaget.

Beberapa hari berlalu..............

"Dita, setelah kupikir matang, aku akan menyuntingmu, kalau dirimu bersedia menjadi pendamping hidupku...?," Paijo dengan hati2 memberanikan diri meminta Dita untuk menikah, walaupun dia takut kalau Dita sudah tidak mencintainya lagi. Dita mungkin berubah pikirnya, sudah jadi gadis metropolitan.

"Tapi Paijo, ortuku pasti gak setuju, kamu masih ingat kejadian waktu itu kan....?,"sanggah Dita dengan wajah sedih.

"Aku sadar hal itu, tapi yang akan berumah tangga itu kita, asal kita saling mencintai, kita akan bersama2 mewujudkan cita dan cinta kita yang telah kita impikan dulu.., kita nikah dengan wali hakim.."ujar Paijo sungguh2.

Dita linglung, dia harus memilih antara cinta dan orang tua, sebuah pilihan pahit, peribahasa "If there are two choices, choose the third one" tidak berlaku lagi sekarang. Pilihannya benar2 cuma dua, Paijo atau orang tua. 

Setelah kusut semalam itu karena banyak pikiran, Dita akhirnya memutuskan memilih Paijo, pilihan yang pahit sebenarnya, tapi dia tak bisa mengingkari kalau dia masih mencintai Paijo, terbukti dia belum pernah sekalipun begitu sreg dengan cowok2 yang mengejarnya walaupun mereka ganteng dan kaya, setelah sekian lama pisah dengan Paijo.

Pernikahan dilangsungkan sederhana di masjid kampus, sangat sederhana, hanya dihadiri teman2 terdekat saja.

Setelah menikah, Paijo dan Dita tinggal di satu kontrakan, selain untuk mengirit ongkos, mereka berencana membeli rumah sederhana dari tabungan mereka selama ini.

Mereka sama sekali tak mau mengemis pada orang tua, hal yang tabu dalam pandangan mereka. Merepotkan mereka lagi setelah kerepotan2 mereka sejak mereka dilahirkan.

Paijo bekerja sebagai redaktur sebuah harian ibukota sebagai cerpenis dan pencipta puisi, sekaligus menyalurkan hobinya sejak kecil. Dengan uang seadanya, mereka mencoba bertahan hidup di ganasnya kehidupan ibu kota.

Setahun sudah berlalu.......

Dengan menghisap rokoknya dalam2, Paijo berpikir keras...belum satu puisipun terhasilkan dari sibuknya di depan komputer hari ini. Pikirannya kalut dan bingung, Dita hamil..., kontrakan sebentar lagi habis, musti diperpanjang, apalagi penerbitan puisinya tinggal lusa.

Dia memandang Dita yang ketiduran di sampingnya, wajah ayu tanpa dosa yang setia menemani perjalanan hidupnya. Dia tidak habis pikir kadang, anak konglomerat yang mau membagi hidup dengan orang kecil seperti dia.

Jarum jam berdentang 2 kali, dan satu puisipun terselesaikan. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi......Paijo tertidur..

Paijo terbangun, matahari dengan garang membelai mukanya yang kusut, jendela telah terbuka, dia mencium bau mie goreng kesukaannya, rupanya Dita telah masak. Tapi dia kaget setengah mati, komputernya telah mati, padahal dia belum menyimpannya di file.

"Dita..............!!!!!!!!"Paijo berteriak keras.....

"Ya.........!!!!" jawab lembut Dita dari belakang.

"Siapa yang mematikan komputer..?"Paijo berteriak keras, merah mukanya tanda marah.

"Saya, kan Mas Jo tidur malam tadi.." jawab Dita masih sibuk dengan masakannya.

"Kamu tahu, aku harus menyelesaikan puisi itu dan besok akan terbit, dan saya belum menyimpannya, kamu keterlaluan Dita, tidak tanya2 aku dulu", Paijo menuju ke belakang dengan bersungut2.

"Itu puisi untuk membayar kontrakan, untuk membayar makan, apa kamu nggak ngerti...?"

"Ya, tapi kan saya tidak tahu kalau belum disimpan Mas..."

"Tapi kamu kan harus tanya dulu..., kamu memang keras kepala...., sudah salah membantah terus.., kamu tidak pernah berubah Dita.." Paijo mulai kehilangan kontrol atas omongannya.

Dita mulai berubah air mukanya mendengar ucapan Paijo, air mata mulai meleleh di pipinya. Dita pergi ke kamar dan menguncinya. Paijo hanya bisa melenguh memandangi jalanan kota Jakarta yang sibuk dan penuh polusi. Dia duduk lagi di depan komputer, mengingat2 lagi apa yang ditulisnya tadi malam. Sejam berlalu......

Pintu kamar berderit...

"Ternyata orang tuaku benar, kau tidak bisa membahagiakan aku, kau hanya bermain dengan khayalanmu, bermain dengan puisi2mu, tidak ada gunanya lagi aku bersamamu, kau tidak pernah mengerti aku, aku tidak mau mati dalam filosofi2 dalam otakmu itu, aku mau pulang ke orangtuaku..., selamat tinggal Jo..!!!", dng membawa sebuah tas jinjing Dita segera melesat pergi.

Paijo melongo, bingung mau berbuat apa, rasanya tidak percaya, kata2 yang keras dan cepat, sedikitpun tak ada waktu menjawabnya...

Dita segera hilang ditelan tikungan jalan, hilang di antara2 bajaj dan mobil2, Paijo menggigil.........gadis cantik itu telah pergi, tak meninggalkan apapun.................................................................................. kecuali sesal.


llaannjjuutt...